Sejarah Geologis
Gunung Merapi adalah yang termuda dalam kumpulan gunung berapi di bagian selatan Pulau Jawa. Gunung ini terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000 tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif. Setelah itu, letusannya menjadi eksplosif, dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava.
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa Timur. Letusannya di tahun 1930 menghancurkan 13 desa dan menewaskan 1400 orang.
Letusan pada November 1994 menyebabkan hembusan awan panas ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban puluhan jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus.
pos pengamatan Pos Pengamatan Kaliurang (sisi selatan, 864 m dpl) Jarak dari puncak 6,0 km Posisi geografi 7o36,05’ LS & 110o 25,48’ BT. Instrumen seismograf 1 komponen. Pengamat Gunungapi 3 (tiga) orang Pos Pengamatan Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Posisi geografi 7o31,57’ LS & 110o 24,63’ BT.
Instrumen seismograf 1 komponen, EDM, Infrasonic.
Pengamat Gunungapi 3 (tiga) orang
Pos Pengamatan Krinjing (sisi baratdaya), jarak dari puncak 6 km. Desa Krinjing, Kab. Magelang, Jawa Tengah
Pos ini cadangan apabila Pos PGA Babadan terancam bahaya, tidak ada Pengamat Gunungapi, tidak ada instrumen.
Pos Pengamatan Jrakah (sisi baratlaut, 1335 m dpl). Desa Jrakah, Kab. Boyolali.
Posisi geografi 7o29,83’ LS & 110o27,29’ BT.
Instrumen seismograf 1 komponen.
Pengamat Gunungapi 3 (tiga) orang.
Pos Pengamatan Selo (sisi utara, 1760 m dpl). Desa Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah
Posisi geografi 7o29,94’ LS & 110o27,43’ BT.
Instrumen seismograf 1 komponen.
Pengamat Gunungapi 2 (dua) orang
Cara Pencapaian
Ada tiga jalur yang terkenal saat ini untuk mencapai puncak Gunung Merapi, yaitu Jalur Kinahrejo/Kaliadem dari sisi selatan, Jalur Babadan melalui lereng barat, dan Jalur Selo/Plalangan dari sebelah utara puncak Merapi. Ketiga jalur tersebut memerlukan stamina atau ketahanan fisik dan mental yang prima dan ketiganya mengandung resiko bahaya bila tidak berhati-hati.
Jalur Kinehrejo/Kaliadem menjadi terkenal karena jalur ini dimulai dari rumah Juru Kunci Merapi, Mbah Marijan,. Banyak penduduk yang meyakini bahwa sisi depan Merapi sesungguhnya adalah menghadap ke Kinahrejo oleh karena itu, mendaki melalui jalur tersebut berarti datang dari depan. Jalur ini relatif berat karena pendaki langsung berhadapan dengan medan yang terjal dengan sudut lereng antara 30o – 45o. Bagi pemula jalur ini tidak disarankan.
Jalur Babadan adalah jalur “tembak langsung” yang ditempuh dari sisi barat. Tembak langsung artinya sejak mulai melangkah arahnya langsung ke puncak dan terjal. Oleh karena itu, tidak ada variasi suasana atau pemandangan yang akan mengalihkan perhatian dari kepenatan. Jalur ini untuk sementara sangat tidak disarankan karena aktifitas vulkanik Gunung Merapi dalam dua dekade ini mengambil tempat di lereng barat. Boleh jadi ketika dalam perjalanan akan dihadang oleh guguran lava atau hujan abu. Kejadian yang menimpa 2 (dua) orang pelancong dari Belanda yang menjadi korban pada Juli 2001, satu orang meninggal dunia dan seorang lagi luka parah, karena nekad mendaki dari sisi barat dan diterjang guguran lava yang masih panas.
Jalur Selo atau Plalangan melalui sisi utara. Sekarang jalur ini tergolong paling aman dan nyaman untuk mencapai puncak dan menjadi jalur tradisional bagi banyak pendaki. Oleh sebab itu, jalur ini yang direkomendasikan.
Tanpa melihat tingkat kegiatan vulkanik Gunung Merapi, waktu yang baik untuk melakukan pendakian antara bulan Juni – Agustus. Selang waktu tersebut sudah memasuki musim kemarau dan angin tidak terlalu kencang.
Bagi pendaki yang berusia muda, usia <40 align="center">
Gambar 1. Peta rute perjalanan ke puncak Gunung Merapi melalui Jalur Selo
Dalam waktu kurang dari 30 menit pendaki sudah mencapai undakan ketiga yang bernama Bukit Gajahmungkur (+ 2650 m). Tidak jelas hubungannya dengan gajah, tetapi mungkin karena undakan ini adalah punggungan yang menukik tajam dan berakhir di Pasarbubar. Pasarbubar sendiri adalah puncak dari rangkaian punggungan Gajahmungkur dan Pusunglondon sebelum mencapai puncak sesungguhnya, yang juga dikenal dengan Gunung Anyar. Sebenarnya Gunung Anyar pada awalnya merupakan kubah lava yang terbentuk antara tahun 1902 – 1911 yang ketika itu dikenal dengan Kubah Timur.
Alkisah menurut sahibul hikayat, bagi orang yang bening hatinya akan mendengarkan hiruk-pikuk suara bagaikan suatu hari pasaran yang sedang bubar. Tetapi bila dicermati dengan benar, Pasarbubar adalah lokasi pertemuan angin dari dua arah yang berbeda, masing-masing dari celah lereng timur dan lereng tenggara yang kemudian menimbulkan desisan yang terkadang panjang terdengar hiruk-pikuk. Lokasi ini adalah puncak kelelahan dan selalu dijadikan tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Anyar dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Dalam peta jaraknya hanya 700 m tetapi harus ditempuh antara 45 – 60 menit karena perjalanan akan meniti bebatuan yang runcing dan mudah menggelinding. Oleh karena itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Tiba di puncak Merapi berarti tiba di puncak kebahagiaan. Betapa tidak, saat itu pendaki telah menginjakkan kakinya di posisi tertinggi dari lantai Yogyakarta.
SEJARAH LETUSAN
Berdasarkan sejarah, Gunung Merapi mulai tampil sebagai gunungapi sejak tahun 1006, ketika itu tercatat sebagai letusannya yang pertama (Data Dasar Guungapi Indonesia, 1979). Sampai Letusan Februari 2001, sudah tercatat meletus sebanyak 82 kejadian. Secara rata-rata Merapi meletus dalam siklus pendek yang terjadi setiap antara 2 – 5 tahun, sedangkan siklus menengah setiap 5 – 7 tahun. Siklus terpanjang pernah tercatat setelah mengalami istirahat selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 catatan kegiatan Merapi mulai kontinyu dan terlihat bahwa, siklus terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 dan kegiatan 1658.
Letusan Gunung Merapi selalu dilalui dengan proses yang panjang yang dimulai dengan pembentukan kubah, guguran lava pijar, awanpanas yang secara definisi.
sesungguhnya awal dari erupsi tipe efusif. Di bawah ini ditampilkan tabel yang memuat waktu letusan dan lamanya letusan tersebut yang dihitung sejak masa awal proses erupsi hingga letusan puncak secara menyeluruh.
Karakter dan Gejala Letusan Sejak awal sejarah letusan Gunung Merapi sudah tercatat bahwa tipe letusannya adalah pertumbuhan kubah lava kemudian gugur dan menghasilkan awanpanas guguran yang dikenal dengan Tipe Merapi (Merapi Type). Kejadiannya adalah kubahlava yang tumbuh di puncak dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam dan runtuh yang diikuti oleh guguran lava pijar. Dalam volume besar akan berubah menjadi awanpanas guguran (rock avalance), atau penduduk sekitar Merapi mengenalnya dengan sebutan wedhus gembel, berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi (>700oC) dalam terjangan turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi (100 km/jam) ke dalam lembah. Puncak letusan umumnya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai awanpanas guguran akibat hancurnya kubah. Secara bertahap, akan terbentuk kubahlava yang baru.
Hartman (1935) membuat simpulan tentang siklus letusan Gunung Merapi dalam 4 kronologi yaitu:
Kronologi 1.
Diawali dengan satu letusan kecil sebagai ektrusi lava. Fase utama berupa pembentukan kubahlava hingga mencapai volume besar kemudian berhenti. Siklus ini berakhir dengan proses guguran lava pijar yang berasal dari kubah yang terkadang disertai dengan awanpanas kecil yang berlangsung hingga bulanan.
Kronologi 2.
Kubahlava sudah sudah terbentuk sebelumnya di puncak. Fase utama berupa letusan bertipe vulkanian dan menghancurkan kubah yang ada dan menghasilkan awanpanas. Kronologi 2 ini berakhir dengan tumbuhnya kubah yang baru. Kubah yang baru tersebut menerobos tempat lain di puncak atau sekitar puncak atau tumbuh pada bekas kubah yang dilongsorkan sebelumnya.
Kronologi 3.
Mirip dengan kronologi 2, yang membedakan adalah tidak terdapat kubah di puncak, tetapi kawah tersumbat. Akibatnya fase utama terjadi dengan letusan vulkanian disertai dengan awanpanas besar (tipe St. Vincent ?). Sebagai fase akhir akan terbentu kubah yang baru.
Kronologi 4.
Diawali dengan letusan kecil dan berlanjut dengan terbentuknya sumbatlava sebagai fase utama yang diikuti dengan letusan vertikal yang besar disertai awanpanas dan asap letusan yang tinggi yang merupakan fase yang terakhir.
Pada kenyataannya, terutama sejak dilakukan pemantauan yang teliti yang dimulai dalam tahun 1984, batasan setiap kronologi tersebut sering tidak jelas bahkan bisa jadi dalam satu siklus letusan berlangsung dua kronologi secara bersamaan, seperti pada Letusan 1984.
Seiring dengan perkembangan teknologi, sejak 1984 ketika sinyal data dapat dikirim melalui pemancar radio (radio telemetry) sistem tersebut mulai dipergunakan dalam mengamati aktivitas gunungapi di Indonesia, termasuk di Gunung Merapi. Dan sejak saat itu gejala awal letusan lebih akurat karena semua sensor dapat ditempatkan sedekat mungkin dengan pusat kegiatan tergantung kekuatan pemancar yang dipergunakan, secara normal dapat menjangkau hingga jarak antara 25 – 40 km.
Hampir setiap letusan Gunung Merapi, terutama sejak diamati dengan seksama yang dimulai tahun 80-an, selalu diawali dengan gejala yang jelas. Secara umum peningkatan kegiatan lazimnya diawali dengan terekamnya gempabumi vulkanik-dalam (tipe A) disusul kemudian munculnya gempa vulkanik-dangkal (tipe B) sebagai realisasi migrasinya fluida ke arah permukaan. Ketika kubah mulai terbentuk, gempa fase banyak (MP) mulai terekam diikuti dengan makin besarnya jumlah gempa guguran akibat meningkatnya guguran lava. Dalam kondisi demikian, tubuh Merapi mulai terdesak dan mengembang yang dimonitor dengan pengamatan deformasi.
Sebagai contoh kasus, berikut ini ditampilkan secara lengkap hasil rekaman seismograf dan tiltmeter yang memonitor kegiatan vulkanik Gunung Merapi pada Kegiatan 2000-2001.
Gambar Grafik jumlah gempabumi yang terekam di Gunung Merapi dalam kegiatan 2000 - 2001
Gambar Grafik Tiltmeter dari Stasiun Puncak selama kegiatan G. Merapi 2000-2001
GEOLOGI
Apabila dirunut dari utara ke selatan, gunungapi di Jawa Tengah akan dijumpai jajaran Gunung Ungaran, Telomoyo, Merbabu, dan terakhir Gunung Merapi. Dari keempat gunung tersebut, hanya Gunung Merapi yang masih bertahan sebagai gunungapi sampai saat ini.
Untuk pertama kalinya menurut cacatan sejarah, letusan Gunung Merapi terjadi dalam tahun 1006 demikian dahsyat menyebabkan Kerajaan Mataram pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Tmiur, meskipun hal tersebut masih diperselisihkan kebenarannya.
Awanpanas atau dikenal juga denga aliran piroklastik tidak dapat dipisahkan dari setiap letusan G. Merapi yang kemudian dikenal dengan Tipe Merapi. Secara terminologi, Tipe Merapi atau awanpanas tersebut dibedakan atas 2 macam, masing-masing awanpanas letusan dan awanpanas guguran.
Awanpanas Letusan (Suryo, 1978) serupa dengan St. Vincent type pyroclastics flows (Escher, 1933 dan Macdonald, 1972) sebagai akibat langsung dari penghancuran batuan penutup/kubah karena letusan. Sedangkan awanpanas guguran atau dome collapse pyroclastics flows sebagai akibat hancurnya kubah karena gravitasi, hal ini berkaitan dengan besarnya volume kubah aktif. Berdasarkan karakterisasi dari endapan vulkanik tersebut, Newhall, dkk (2000) membagi endapan letusan Merapi menjadi 3 jenis, yaitu Endapan Proto Merapi, Endapan Merapi Tua, dan Endapan Merapi Muda.
Endapan Proto Merapi diperkirakan berumur Pleistosen dan ditemukan di Bukit Turgo dan Plawangan (sisi selatan Merapi). Endapan Merapi Tua teridiri dari lava yang dikenal dengan Lava Batulawang (Bahar, 1984) berselingan dengan endapan piroklastik yang berumur 9630 ± 60 BP, dapat dijumpai di Srumbung, Cepogo. Proses pembentukan Merapi Tua berakhir dengan pelengserang endapan debris vulkanik dalam tahun 0 Masehi. Merapi Muda berlangsung sejak 1883 sampai sekarang.
Berthommier, 1990 bahkan membagi pembentukan Merapi dalam 5 tahap, yaitu Pra Merapi (>400.000 tahun yang lalu), Merapi Tua berumur antara 400.000 sampai 6.700 tahun yang lalu, kemudian tahap ketiga adalah Merapi Menengah antara 6.700 – 2.200 tahun yang lalu, Merapi Muda 2.200 – 600 tahun yang lalu dan Merapi Sekarang sejak 600 tahun lalu. A.D Wirakusumah, dkk. yang melakukan pemetaan geologi Gunung Merapi dalam tahun 1989 menyebutkan hanya dua waktu, yaitu batuan Gunung Merapi Muda dan Merapi Tua.
Batuan Gunung Merapi Muda terdiri dari Aliran lava andesit piroksen (3&4, Endapan jatuhan piroklastika Merapi, Endapan aliran piroklastika muda dan guguran Merapi, dan Endapan lahar muda. Sedangkan batuan Merapi Tua terdiri dari Endapan aliran piroklastika tua Merapi, Endapan lahar tua Merapi, dan Aliran lava andesit piroksen (1&2).
Apabila merekontruksi kejadian letusan dan kelurusan pusat-pusat letusan selama kurun waktu 1786 – 2001, maka urutan pola pergeseran pusat letusan di kawasan puncak Merapi dapat dikelompokan dalam tiga periode letusan berdasarkan pola pergeseran pusat letusan, masing-masing periode 1786-1823, periode 1832 – 1872, dan periode 1883 – 2001. Secara garis besar pergeseran titik letusan tersebut dimulai dari sisi baratlaut pindah ke timur kemudian ke selatan dan kini kembali menempati sisi barat – baradaya. Akibat rajinnya meletus dan pusatnya selalu berpindah-pindah tempat serta setiap akhir dari satu siklus letusan hampir selalu menghasilkan kubah, maka topografi puncak Gunung Merapi selalu berubah wajah.
Peta topografi puncak Gunung Merapi (Pemetaan 1986)
Sesungguhnya tidak didapati kawah di puncak Merapi saat ini. Yang disebut-sebut sebagai Kawah Woro dan Kawah Gendol sesungguhnya adalah lapangan solfatara yang sangat aktif bersuhu antara 500oC di Lapangan Woro dan 700o C di Lapangan Gendol. Dalam tahun 1883 terdapat kawah sedalam 100 m dan secara bertahap terisi lava dan kemudian membentu kubah dan dikenal dengan Gunung Anyar atau Kubah Timur yang menjadi puncak Gunung Merapi sekarang.
Puncak G. Merapi adalah kesetimbangan antara pembentukan dan penghancuran kubah. Pada prinsipnya kubah lava yang tidak dihancurkan adalah bagian dari puncak dan kubah lava yang dihancurkan adalah bagian dari kawah. Pada umumnya kubah baru yang terbentuk akan tumbuh disamping atau tidak jauh atau tepat pada posisi kubah sebelumnya (Kubah 2001 tumbuh tepat di puncak Kubah 1998).
Belum pernah terjadi lava menerobos dari arah yang berbalikan dari sebelumnya, misalnya kubah aktif tumbuh di sisi barat, maka belum pernah terjadi kubah baru tumbuh di sisi timur. Informasi tersebut sangat penting dalam mitigasi dan prediksi aktivitas Gunung Merapi berikutnya.
Mitigasi Bencana Gunungapi
Sistem Pemantauan
Kegiatan vulkanik Gunung Merapi sudah diamati sejak tahun 1953. Selain di kantor Balai Penyelidikan dan Pengamatan Teknologi Kegunungapin (BPPTK) Yogyakarta sebagai Main Office, ada 5 (lima) Pos Pengamatan Gunungapi (Pos PGA) yang mengelilingi G. Merapi yang dikhususkan mengamati gerak gerik G. Merapi dari waktu ke waktu secara visual serta dilengkapi beberapa peralatan standard antara lain seperangkat seismograf sebagai pelengkap atau peralatan khusus yang mengharuskan dilakukan pengukuran secara langsung terhadap gunungapi, misalnya Deformasi dan COSPEC. Peralatan lainnya diinstal di Kantor BPPTK, Yogyakarta.
Peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk memantau kegiatan vulkanik Gunung Merapi adalah seismograf, deformasi, COSPEC, magnetometer, infrasonic.
Seismograf direkam dengan sistem analog dan numerik sebanyak 6 stasiun. Deformasi terdiri dari tiltmeter, EDM, dan GPS. Khusus tiltmeter terukur secara menerus dari puncak dengan radio telemetry. EDM dan GPS diukur secara temporer. Pengukuran COSPEC dilakukan secara manual setiap hari dari Pos Pengamatan Jrakah, sedangkan magnetometer dan infrasonic masih dalam ujicoba dan ditempatkan di Pos Pengamatan Babadan.
Mitigasi Bencana
Bahaya letusan gunungapi terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder.Bahaya Primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awanpanas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awanpanas, dan lontaran material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan pertanian/perkebunan atau rumah.
Tingkat bahaya dari suatu gunungapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut.
Yang terakhir sangat terkait dengan aktifitas penduduk tersebut berinteraksi dengan lingkungnannya, yaitu gunungapi. Untuk menekan jatuhnya korban jiwa manusia, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menerbitkan Peta Daerah Bahaya. Untuk kawasan G. Merapi. Peta Daerah Bahaya tersebut dibagi atas tiga daerah, masing-masing Daerah Terlarang, adalah daerah yang sangat berpotensi terkena letusan langsung (bahaya primer), Daerah Bahaya Satu, bila letusan besar dapat terlanda lontaran material pijar berukuran bom atau kerikil, dan yang terakhir adalah Daerah Bahaya Dua adalah daerah yang sangat berpotensi terlanda lahar.
Apabila dirunut dari utara ke selatan, gunungapi di Jawa Tengah akan dijumpai jajaran Gunung Ungaran, Telomoyo, Merbabu, dan terakhir Gunung Merapi. Dari keempat gunung tersebut, hanya Gunung Merapi yang masih bertahan sebagai gunungapi sampai saat ini.
Untuk pertama kalinya menurut cacatan sejarah, letusan Gunung Merapi terjadi dalam tahun 1006 demikian dahsyat menyebabkan Kerajaan Mataram pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Tmiur, meskipun hal tersebut masih diperselisihkan kebenarannya.
Awanpanas atau dikenal juga denga aliran piroklastik tidak dapat dipisahkan dari setiap letusan G. Merapi yang kemudian dikenal dengan Tipe Merapi. Secara terminologi, Tipe Merapi atau awanpanas tersebut dibedakan atas 2 macam, masing-masing awanpanas letusan dan awanpanas guguran.
Awanpanas Letusan (Suryo, 1978) serupa dengan St. Vincent type pyroclastics flows (Escher, 1933 dan Macdonald, 1972) sebagai akibat langsung dari penghancuran batuan penutup/kubah karena letusan. Sedangkan awanpanas guguran atau dome collapse pyroclastics flows sebagai akibat hancurnya kubah karena gravitasi, hal ini berkaitan dengan besarnya volume kubah aktif. Berdasarkan karakterisasi dari endapan vulkanik tersebut, Newhall, dkk (2000) membagi endapan letusan Merapi menjadi 3 jenis, yaitu Endapan Proto Merapi, Endapan Merapi Tua, dan Endapan Merapi Muda.
Endapan Proto Merapi diperkirakan berumur Pleistosen dan ditemukan di Bukit Turgo dan Plawangan (sisi selatan Merapi). Endapan Merapi Tua teridiri dari lava yang dikenal dengan Lava Batulawang (Bahar, 1984) berselingan dengan endapan piroklastik yang berumur 9630 ± 60 BP, dapat dijumpai di Srumbung, Cepogo. Proses pembentukan Merapi Tua berakhir dengan pelengserang endapan debris vulkanik dalam tahun 0 Masehi. Merapi Muda berlangsung sejak 1883 sampai sekarang.
Berthommier, 1990 bahkan membagi pembentukan Merapi dalam 5 tahap, yaitu Pra Merapi (>400.000 tahun yang lalu), Merapi Tua berumur antara 400.000 sampai 6.700 tahun yang lalu, kemudian tahap ketiga adalah Merapi Menengah antara 6.700 – 2.200 tahun yang lalu, Merapi Muda 2.200 – 600 tahun yang lalu dan Merapi Sekarang sejak 600 tahun lalu. A.D Wirakusumah, dkk. yang melakukan pemetaan geologi Gunung Merapi dalam tahun 1989 menyebutkan hanya dua waktu, yaitu batuan Gunung Merapi Muda dan Merapi Tua.
Batuan Gunung Merapi Muda terdiri dari Aliran lava andesit piroksen (3&4, Endapan jatuhan piroklastika Merapi, Endapan aliran piroklastika muda dan guguran Merapi, dan Endapan lahar muda. Sedangkan batuan Merapi Tua terdiri dari Endapan aliran piroklastika tua Merapi, Endapan lahar tua Merapi, dan Aliran lava andesit piroksen (1&2).
Apabila merekontruksi kejadian letusan dan kelurusan pusat-pusat letusan selama kurun waktu 1786 – 2001, maka urutan pola pergeseran pusat letusan di kawasan puncak Merapi dapat dikelompokan dalam tiga periode letusan berdasarkan pola pergeseran pusat letusan, masing-masing periode 1786-1823, periode 1832 – 1872, dan periode 1883 – 2001. Secara garis besar pergeseran titik letusan tersebut dimulai dari sisi baratlaut pindah ke timur kemudian ke selatan dan kini kembali menempati sisi barat – baradaya. Akibat rajinnya meletus dan pusatnya selalu berpindah-pindah tempat serta setiap akhir dari satu siklus letusan hampir selalu menghasilkan kubah, maka topografi puncak Gunung Merapi selalu berubah wajah.
Peta topografi puncak Gunung Merapi (Pemetaan 1986)
Sesungguhnya tidak didapati kawah di puncak Merapi saat ini. Yang disebut-sebut sebagai Kawah Woro dan Kawah Gendol sesungguhnya adalah lapangan solfatara yang sangat aktif bersuhu antara 500oC di Lapangan Woro dan 700o C di Lapangan Gendol. Dalam tahun 1883 terdapat kawah sedalam 100 m dan secara bertahap terisi lava dan kemudian membentu kubah dan dikenal dengan Gunung Anyar atau Kubah Timur yang menjadi puncak Gunung Merapi sekarang.
Puncak G. Merapi adalah kesetimbangan antara pembentukan dan penghancuran kubah. Pada prinsipnya kubah lava yang tidak dihancurkan adalah bagian dari puncak dan kubah lava yang dihancurkan adalah bagian dari kawah. Pada umumnya kubah baru yang terbentuk akan tumbuh disamping atau tidak jauh atau tepat pada posisi kubah sebelumnya (Kubah 2001 tumbuh tepat di puncak Kubah 1998).
Perkembangan Kawah 1883 yang terisi lava yang menjadi cikal-bakal dari Gunung Anyar, puncak Gunung Merapi saat ini. (Sket Neuman van Padang, 1931 disempurnakan)
Belum pernah terjadi lava menerobos dari arah yang berbalikan dari sebelumnya, misalnya kubah aktif tumbuh di sisi barat, maka belum pernah terjadi kubah baru tumbuh di sisi timur. Informasi tersebut sangat penting dalam mitigasi dan prediksi aktivitas Gunung Merapi berikutnya.
Peta Endapat Awanpanas Gunung Merapi sejak tahun 1992 s.d 2001 (BPPTK)
Perkembangan kubah aktif (Kubah 98) menjelang terbentuknya Kubah 2001. a) Keadaan Kubah 98 pada 30 Maret 2000, b). puncak Kubah 98 mulai pecak ditandai dengan munculnya tonjolan(merekah), 10 Januari 2001, c). Kubah Lava 2001 mulai terbentuk di bagian puncak Kubah 98, 20 Januari 2001, d). Kubah 2001 semakin besar, 3 Februari 2001, e). keadaan kubah/puncak purna Letusan 10 Februari 2001. Sket oleh Tim Geologi BPPTK, 2001 Mitigasi Bencana Gunungapi
Sistem Pemantauan
Kegiatan vulkanik Gunung Merapi sudah diamati sejak tahun 1953. Selain di kantor Balai Penyelidikan dan Pengamatan Teknologi Kegunungapin (BPPTK) Yogyakarta sebagai Main Office, ada 5 (lima) Pos Pengamatan Gunungapi (Pos PGA) yang mengelilingi G. Merapi yang dikhususkan mengamati gerak gerik G. Merapi dari waktu ke waktu secara visual serta dilengkapi beberapa peralatan standard antara lain seperangkat seismograf sebagai pelengkap atau peralatan khusus yang mengharuskan dilakukan pengukuran secara langsung terhadap gunungapi, misalnya Deformasi dan COSPEC. Peralatan lainnya diinstal di Kantor BPPTK, Yogyakarta.
Peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk memantau kegiatan vulkanik Gunung Merapi adalah seismograf, deformasi, COSPEC, magnetometer, infrasonic.
Seismograf direkam dengan sistem analog dan numerik sebanyak 6 stasiun. Deformasi terdiri dari tiltmeter, EDM, dan GPS. Khusus tiltmeter terukur secara menerus dari puncak dengan radio telemetry. EDM dan GPS diukur secara temporer. Pengukuran COSPEC dilakukan secara manual setiap hari dari Pos Pengamatan Jrakah, sedangkan magnetometer dan infrasonic masih dalam ujicoba dan ditempatkan di Pos Pengamatan Babadan.
Mitigasi Bencana
Bahaya letusan gunungapi terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder.Bahaya Primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awanpanas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awanpanas, dan lontaran material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan pertanian/perkebunan atau rumah.
Tingkat bahaya dari suatu gunungapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut.
Yang terakhir sangat terkait dengan aktifitas penduduk tersebut berinteraksi dengan lingkungnannya, yaitu gunungapi. Untuk menekan jatuhnya korban jiwa manusia, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menerbitkan Peta Daerah Bahaya. Untuk kawasan G. Merapi. Peta Daerah Bahaya tersebut dibagi atas tiga daerah, masing-masing Daerah Terlarang, adalah daerah yang sangat berpotensi terkena letusan langsung (bahaya primer), Daerah Bahaya Satu, bila letusan besar dapat terlanda lontaran material pijar berukuran bom atau kerikil, dan yang terakhir adalah Daerah Bahaya Dua adalah daerah yang sangat berpotensi terlanda lahar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar